Beranda | Artikel
Proses Penciptaan Manusia Dan Ditetapkannya Amalan Hamba
Sabtu, 22 Juni 2019

PROSES PENCIPTAAN MANUSIA DAN DITETAPKANNYA AMALAN HAMBA (2)

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ، فَوَاللهِ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ غُيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Dari Abu ‘Abdir-Rahman ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepada kami, dan beliau adalah ash-Shadiqul Mashduq (orang yang benar lagi dibenarkan perkataannya), beliau bersabda, ”Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya. Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya”. [Diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim]

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh : Imam al Bukhari dalam Shahih-nya, pada kitab Bada-ul Khalq, Bab Dzikrul Mala-ikah (no. 3208), kitab Ahaditsul Anbiya` no. 3332. Lihat juga hadits no. 6594 dan 7454. Imam Muslim dalam Shahih-nya, pada kitab al Qadar no. 2643. Imam Abu Dawud no. 4708. Imam at-Tirmidzi no. 2138. Imam Ibnu Majah no. 76.

SYARAH (PENJELASAN) HADITS
Hadits ini mengandung beberapa pelajaran berharga, sebagai berikut:

4. Yang Menjadi Penentu Adalah Amal Seseorang di Akhir Kehidupannya.
Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dua keadaan manusia di akhir hayatnya.

Pertama, ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga, akan tetapi di akhir hayatnya justru ia beramal dengan amalan ahli neraka, yang dengan itu ia pun masuk neraka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيْمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَيَعْمَلُ فِيْمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِخَوَاتِيْمِهَا.

Sesungguhnya ada seorang hamba yang beramal dengan amalan ahli Surga menurut apa yang tampak di hadapan manusia, (namun) sebenarnya dia adalah penghuni Neraka, ada seorang hamba beramal dengan amalan ahli Neraka menurut apa yang tampak di hadapan manusia, (namun) sebenarnya dia adalah penghuni Surga. Sesungguhnya amal-amal itu tergantung daripada akhirnya.[1]

Maksudnya, seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga dalam pandangan manusia. Hal ini ada beberapa keadaan.

  • Dalam pandangan manusia, kaum munafik pun beramal dengan amalan ahli surga, seperti shalat, zakat, shadaqah dan lainnya, akan tetapi hatinya benci terhadap Islam, maka di akhir hayatnya dia akan beramal dengan amalan ahli neraka, yang dengan amalnya itu ia akan masuk neraka.
  • Orang yang beramal dengan amalan ahli surga, akan tetapi ia riya’ (ingin dilihat dan dipuji oleh manusia), yang karenanya Allah menghapuskan ganjaran amalannya.
  • Orang yang pada masa hidupnya beramal dengan amalan ahli surga, akan tetapi di akhir hayatnya ia tergoda, sehingga ia pun beramal dengan amalan ahli neraka, yang dengan itu ia masuk neraka.
  • Orang yang beramal dengan amalan ahli surga, akan tetapi di akhir hayatnya ia tidak sanggup menghadapi ujian.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 112 (179)) dan lainnya, bahwasanya ada seorang sahabat yang berperang di jalan Allah dengan gagah berani dan banyak membunuh orang-orang kafir, hingga para sahabat lainnya yang melihatnya berkata,”Pada hari ini, tidak ada seorang pun dari kami yang mendapatkan pahala sebagaimana ganjaran orang itu,” akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ.

(Akan tetapi, sesungguhnya ia termasuk penghuni neraka). Kemudian seorang sahabat yang selalu menyertainya mengabarkan, bahwa orang tersebut bunuh diri karena tidak bersabar atas luka yang dideritanya.

  • Orang yang beramal dengan amalan ahli surga, akan tetapi di akhir hayatnya ia mengucapkan kata-kata kufur, yang dengan itu ia masuk neraka.

Kedua. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan keadaan kedua, yaitu orang yang beramal dengan amalan ahli neraka, akan tetapi di akhir hayatnya ia beramal dengan amalan ahli surga, yaitu bertaubat kepada Allah, yang dengan itu ia pun masuk surga.

Dalam hal ini ada beberapa contoh.
1. Seseorang yang selama hidupnya berada dalam kekafiran, akan tetapi sesaat di akhir hayatnya ia bertaubat dan masuk Islam, yang dengan itu Allah menghapuskan semua dosanya dan memasukkanya ke dalam surga. Hal ini termasuk indahnya Islam, bahwasanya orang kafir yang telah melakukan berbagai perbuatan dosa lalu ia masuk Islam, maka seluruh dosanya dihapuskan oleh Allah.

Hal ini sebagaimana kisah ‘Amr bin ‘Ash, yang pada masa kafirnya banyak melakukan kejahatan, kezhaliman dan sangat membenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga ia berkata,

وَلاَ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ قَدِ اسْتَمْكَنْتُ مِنْهُ فَقَتَلْتُهُ.

[Tidak ada yang lebih aku sukai melainkan aku dapat menjumpainya (yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) lalu aku membunuhnya], akan tetapi, ketika Allah memberikan hidayah Islam ke dalam hatinya, ‘Amr pun segera menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya menjulurkan tangannya untuk membai’at beliau. Rasul pun menjulurkan tangannya. Namun, ‘Amr menarik tangannya kembali. Seketika, maka ditanyakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ada apa denganmu, wahai ‘Amr?”
“Aku mengajukan syarat,” jawab ‘Amr.
Rasul bertanya,”Apa syaratmu?”
‘Amr menjawab,”Asalkan dosaku diampunkan,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ اْلإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ.

Tidakkah engkau ketahui, bahwasanya Islam menghapuskan (dosa) sebelumnya? Sesungguhnya, hijrah (dari Mekkah ke Madinah) menghapuskan (dosa) sebelumnya, dan sesungguhnya haji menghapuskan (dosa) sebelumnya

Setelah itu berubahlah karakter ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, sehingga ia berkata:

وَمَا كَانَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[2]

2. Orang yang berbuat banyak dosa lalu ia bertaubat.
Sebagaimana kisah seseorang yang telah membunuh 99 jiwa, lalu ia mendatangi seorang rahib untuk menanyakan, apakah masih ada pintu taubat baginya? Namun rahib itu menjawab, bahwa tidak ada pintu taubat baginya, maka dibunuhlah rahib itu, sehingga genap 100 jiwa yang telah dibunuhnya.

Kemudian, ia mendatangi seorang ulama untuk menanyakan hal yang sama. Ulama tersebut menjawab, bahwa masih ada pintu taubat baginya, dengan syarat ia harus meninggalkan kampung asalnya yang penuh kejahatan, dan menuju suatu daerah yang di sana banyak orang rajin beribadah.

Maka berangkatlah orang tersebut menuju daerah yang ditunjukkan ulama tadi. Namun, di tengah perjalanan, kematian terlebih dahulu menjemput nyawanya. Lalu Malaikat Rahmat dan Malaikat Adzab berebut untuk membawa nyawa orang tersebut, hingga datanglah malaikat berwujud manusia yang memberikan solusi dengan cara mengukur jalan yang telah ditempuhnya. Ternyata jarak ke arah daerah yang ditujunya lebih dekat sehasta. Maka, dibawalah nyawanya oleh Malaikat Rahmat[3]

Allah Ta’ala telah mengampuni seluruh dosanya dan memasukkannya ke dalam urga, padahal ia belum melakukan amal kebaikan apapun selain perjalanannya tersebut. Sungguh, rahmat dan ampunan Allah sangatlah luas.

3. Seseorang yang baru masuk Islam lalu meninggal ketika berjihad di jalan Allah.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dan lainnya, bahwa ada seseorang yang melihat kaum Muslimin berperang, lalu ia pun ingin ikut berperang. Maka disiapkanlah baju besi, kemudian ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,”Wahai Rasulullah, apakah aku masuk Islam terlebih dahulu, ataukah aku berperang?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya masuk Islam terlebih dahulu. Setelah mengucapkan syahadat, ia pun berperang sehingga ia tewas terbunuh. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَمِلَ قَلِيْلاً وَأُجِرَ كَثِيْرًا.

Dia beramal sedikit, namun diganjar yang besar (surga)[4]

Ketahuilah-semoga Allah merahmati kita semua- hadits ini menunjukkan, bahwa amal tergantung pada akhirnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh tertipu dengan amal-amal yang telah kita kerjakan. Kita tidak boleh berkeyakinan, bahwa banyaknya amal yang telah dilakukan menjamin kita akan masuk surga. Akan tetapi, yang harus dilakukan adalah, agar kita senantiasa memohon kepada Allah, sehingga memasukkan diri kita ke dalam surga dan dijauhkan dari api neraka, serta memohon agar amal-amal kita diterima oleh-Nya. Hendaknya seorang muslim berada dalam dua keadaan, yaitu khauf (takut) dan raja’ (harap). Sebagaimana tidak boleh pula memastikan bahwa seseorang tidak akan mendapat petunjuk, atau mengatakan bahwa seseorang tidak akan diampunkan oleh Allah Ta’ala.

Imam Ahmad meriwayatkan, ada seseorang yang mengatakan kepada seorang pendosa: “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau Allah tidak akan memasukkanmu ke surga,” maka Allah mengutus Malaikat untuk mencabut arwah keduanya, lalu Allah berkata kepada pendosa itu: “Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku,” lalu Dia berkata kepada seorang lagi,

أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَكُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي خَازِنًا اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ.

Apakah engkau lebih mengetahui daripada Aku? Apakah engkau mengetahui perbendaharaan yang ada di tangan-Ku? Lalu Allah berkata, “Bawalah ia ke neraka.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَوَالَّذِي نَفْسِ أَبِي الْقَاسِمِ بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِالْكَلِمَةِ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ.

Demi Rabb, yang jiwa Abul Qasim berada di tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya[5]

Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditegur langsung oleh Allah Ta’ala dikarenakan beliau mendo’akan keburukan dalam qunut nazilah bagi Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan al Harits bin Hisyam ketika perang Uhud. Allah Ta’ala berfirman:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim”. [ali ‘Imran/3:128].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri juga tidak mengetahui tentang akhir hayat seseorang. Bahkan, ketiga orang yang beliau do’akan dengan keburukan karena permusuhan mereka terhadap Islam, pada akhirnya mereka bertaubat dan masuk Islam di akhir hayatnya, yaitu pada saat Fat-hul Makkah.

FAWA-ID (FAIDAH-FAIDAH) HADITS
1. Dianjurkan berdo’a agar ditetapkan dalam agama. Sebagaimana do’a yang sering dibaca oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu[6]

2. Dianjurkannya untuk selalu berlindung kepada Allah dari su-ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).

3. Wajib bagi seorang hamba agar tidak tertipu dengan amal kebaikannya. Bahkan, wajib baginya untuk selalu berada antara khauf (takut) dan raja’ (harap).

4. Sesungguhnya amal-amal sebagai sebab seseorang masuk ke dalam surga atau neraka.

5. Wajibnya bersyukur terhadap seluruh nikmat Allah yang agung dan besar. Seperti nikmat diciptakannya manusia sebagai sebaik-baik makhluk oleh Allah. Dan Allah Ta’ala menciptakan makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Dia-lah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. [ali ‘Imran/3:6].

6. Sesungguhnya sengsara dan bahagianya seorang hamba tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah Azza wa Jalla.

7. Bersumpah atas berita yang benar (berfungsi) untuk menguatkan keyakinan orang yang mendengarnya. Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah dengan mengucapkan:

فَوَاللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ

Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia”.

8. Dianjurkannya merasa tenang dengan rizki yang telah Allah karuniakan, dan merasa puas atas rizki dengan diiringi usaha yang benar.

Walaupun Allah telah menetapkan rizki bagi kita, akan tetapi kita tetap wajib berusaha untuk mencarinya. Hal ini menjadi sebab untuk mendapatkan rizki. Kemudian, sekecil apapun rizki yang kita dapatkan, maka harus disyukuri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.

Sungguh berbahagia orang yang masuk Islam, diberikan rizki yang cukup, dan qana’ah (merasa puas) dengan apa yang Allah berikan[7]

Apabila timbul godaan setan yang membuat kita tidak puas terhadap rizki yang telah kita dapatkan, maka kita harus melihat yang ada di bawah kita, yaitu keadaan yang lebih buruk.

9. Kehidupan itu di tangan Allah. Seorang hamba tidak akan mati sehingga telah sempurna rizki dan umurnya.

10. Amal-amal, yang baik maupun yang buruk, hanya sebagai tanda, bukan suatu kepastian. Maksudnya, amal-amal kebaikan seseorang tidak dapat memastikan bahwa orang tersebut sebagai ahli surga. Sebagaimana amal-amal keburukan juga tidak dapat memastikan seseorang sebagai ahli neraka.

11. Hikmah diciptakannya manusia dalam beberapa fase merupakan bentuk kasih-sayang Allah kepada seorang ibu.

12. Dalam hadits ini terdapat pernyataan bahwa dibangkitkannya manusia adalah haq (benar). Allah telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang hina, dan Allah Maha Kuasa untuk mematikan dan membangkitkannya kembali.

13. Beberapa permasalahan tentang janin.
Pertama: Bagaimana hukum aborsi (menggugurkan kandungan) sesudah berusia 120 hari (sesudah ditiupkannya ruh) atau sebelumnya?
Para ulama sepakat, bahwa menggugurkan kandungan yang telah berusia 120 hari adalah perbuatan haram, termasuk pembunuhan, dan berdosa besar. Jadi, para ulama sepakat bahwa aborsi setelah ruh ditiupkan ke dalam janin adalah haram. Bahkan mereka menganggap, aborsi merupakan tindak pidana yang tidak boleh dilakukan seorang muslim. Aborsi merupakan kejahatan terhadap manusia dalam bentuknya yang utuh. Karenanya, jika dalam melakukan aborsi, janin keluar dalam keadaan hidup dan kemudian mati, maka dikenakan diyat (denda yang sudah ditentukan ukurannya). Jika keluar dalam keadaan mati, maka dendanya lebih ringan.

Hukum ini juga berlaku untuk aborsi sebelum masa peniupan ruh. Setidaknya ini adalah pendapat hampir seluruh ulama. Karena penciptaan manusia pada dasarnya dimulai sejak sperma membuahi sel telur (ovum) sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ اِثْنَتَانِ وَأَرْبَعُوْنَ لَيْلَةً، بَعَثَ اللهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا، وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا، وَجِلْدَهَا، وَلَحْمَهَا، وَعِظَمَهَا….

Ketika nuthfah sudah berusia empat puluh dua hari, maka Allah mengutus Malaikat untuk membentuknya, menciptakan telinga, mata, kulit, daging dan tulangnya…”[8]

Ada ulama yang berpendapat bolehnya menggugurkan kandungan sebelum berusia 120 hari. Sebagian mengatakan boleh dan sebagian mengatakan haram. Namun pendapat yang rajih (benar) adalah haram. Ada ulama yang mengqiyaskannya dengan azl[9], yang walaupun dibolehkan, tetapi disebut oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ.

Itu adalah pembunuhan yang tersembunyi[10]

Pada hakikatnya ‘azl tidak sama dengan aborsi atau mengubur bayi hidup-hidup. Karena aborsi merupakan kejahatan terhadap sesuatu yang sudah ada.

Kehidupan itu sendiri mempunyai beberapa tahapan. Tahapan pertama, bertemunya sel sperma dengan ovum dalam rahim. Oleh karena itu, merusak sel sperma dengan ovum merupakan kejahatan. Jika telah berubah menjadi segumpal darah, maka tingkat kejahatannya bertambah berat. Apabila sudah menjadi segumpal daging dan telah ditiupkan ruh, maka kejahatan itu semakin bertambah berat. Kemudian kejahatan yang paling berat, yaitu ketika janin tersebut telah lahir menjadi bayi yang bernyawa. Syaikh al ‘Utsaimin menjelaskan haramnya aborsi (menggugurkan kandungan), meskipun janin belum ditiupkan ruh.

Kedua: Bagaimana hukum menggugurkan kandungan karena adanya kemudharatan[11], setelah berusia 120 hari atau sebelumnya?

Para ulama sepakat, menggugurkan kandungan yang telah berusia 120 hari adalah perbuatan haram, termasuk pembunuhan, dan berdosa besar walaupun kondisi ibu atau kondisi janin dinyatakan sakit. Namun apabila usia kandungan belum berusia 120 hari dan kondisi ibu atau kondisi janin dinyatakan sakit oleh dokter, maka para ulama membolehkannya karena keadaannya darurat.

Ketiga: Bagaimana jika seorang ibu keguguran, apakah ia tergolong nifas ataukah tidak?

Apabila usia kandungan lebih dari 120 hari lalu si ibu keguguran, maka berlaku hukum nifas baginya, yaitu tidak boleh shalat, puasa, bercampur dengan suaminya, dan lainnya. Apabila usia kandungan kurang dari 120 hari (sebelum ditiupkannya ruh), maka perlu dilihat janinnya, apakah sudah berbentuk ataukah masih berbentuk gumpalan darah (daging).

Apabila janin sudah terbentuk, maka berlaku hukum nifas baginya. Dan apabila belum berbentuk, maka darahnya bukan darah nifas, namun disebut darah rusak. Dia harus mandi, wajib shalat dan boleh bercampur dengan suaminya.

Keempat: Bagaimana hukum janin yang gugur setelah berusia 120 hari (telah ditiupkan ruh), apakah ia dishalatkan ataukah tidak?

Para ulama menjelaskan, janin tersebut tetap dishalatkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَالسِّقْطُ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ.

“(Bayi yang lahir dalam keadaan gugur, maka dishalatkan dan dido’akan bagi kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat)[12], dan hukum menshalatnya adalah sunnah, tidak wajib.

Kelima: Bagaimana hukumnya anak yang sempat terlahir namun meninggal, apakah ia juga berhak mendapat warisan?

Para ulama menjelaskan, apabila si bayi sempat menangis, maka ia berhak mendapatkan warisan. Namun jika tidak menangis, maka ia tidak mendapat warisan. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يَرِثُ الصَّبِيُّ حَتَّى يَسْتَهِلَّ صَارِخًا، وَاسْتِهْلاَلُهُ أَنْ يَصِيْحَ أَوْ يَعْطِشَ أَوْ يَبْكِيَ.

Seorang anak tidak dapat menerima warisan hingga ia lahir menjerit, dan (tanda) kelahirannya adalah apabila ia menjerit, bersin atau menangis[13]

Wallahu a’lam bish-shawab.

MARAJI` :
1. Shahih al Bukhari.
2. Shahih Muslim.
3. Sunan Abu Dawud.
4. Sunan at-Tirmidzi.
5. Sunan an-Nasa-i.
6. Sunan Ibnu Majah.
7. Musnad Ahmad bin Hanbal.
8. Az-Zuhd, ‘Abdullah Ibnul Mubarak.
9. Shahih Ibnu Khuzaimah.
10. Shahih Ibnu Hibban.
11. Mawariduzh-Zham’an ila Zawa-id Ibnu Hibban, al Hafizh Nuruddin bin Abi Bakr al Haitsami.
12. Syarhus-Sunnah, Imam al Baghawi.
13. Al Mustadrak, Imam al Hakim.
14. Hilyatul-Auliya`, Abu Nu’aim.
15. Mu’jamul-Kabir dan al Ausath, Imam ath-Thabrani.
16. Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi.
17. Fat-hul Bari Syarah Shahih al Bukhari, al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani.
18. Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, al Hafizh Zainuddin Abul Faraj ‘Abdur-Rahman bin Syihabuddin al Baghdadi ad-Dimasyqi yang terkenal dengan Ibnu Rajab (wafat th. 755 H), tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Cet. VIII, Th. 1419H, Muassasah ar-Risalah.
19. Silsilah al Ahadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
20. Shahih al Jami’ish-Shaghir, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
21. Shahih at-Tirmidzi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
22. Qawa-id wa Fawa-id minal Arba’in an-Nawawiyyah, Nazhim Muhammad Sulthan, Cet. I, Th. 1408H, ad Daar as-Salafiyyah.
23. Al Waafi fi Syarhil-Arba’in an-Nawawiyah, Dr. Musthofa al Bughah dan Muhyidin Mosto, Cet. VIII, Th. 1413H, Maktabah Darut-Turats.
24. Syarah Arba’in an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Cet. III, Th. 1425H, Daar ats-Tsurayya, di bawah pengawasan Mu-assasah Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin al Khairiyyah.
25. Dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR al Bukhari no. 6493, 6607; Muslim no. 112 dan Ahmad (V/332).
[2] Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 121 (192).
[3] Hadits ini diriwayatkan oleh al Bukhari no. 3470 dan Muslim no. 2766.
[4] Diriwayatkan oleh al Bukhari no. 2808 dan Muslim no. 1900.
[5] Diriwayatkan oleh Ahmad (II/323) dengan sanad hasan.
[6] HR at-Tirmidzi no. 3522, Ahmad (VI/302, 315) dari Sahabat Ummu Salamah dan al Hakim (I/525) dari Sahabat an-Nawwas bin Sam’an, dishahihkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga Shahih at-Tirmidzi (III/171 no. 2792). Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha berkata: “Doa itu merupakan doa Nabi yang paling banyak (dibaca)”.
[7] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1054 (125), Ahmad (II/168), al-Hakim (IV/123) dan lainnya, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu
[8] Diriwayatkan oleh Muslim no. 2645, ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabir no. 3044, dari Sahabat Hudzaifah bin Asid Radhiyallahu ‘anhu.
[9] ‘Azl adalah coitus interuptus. Maksudnya menumpahkan air mani di luar rahim isteri ketika bersetubuh.
[10] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1442 (141).
[11] Misalnya adanya gangguan kesehatan yang membahayakan si ibu atau janin tersebut berdasarkan pemeriksaan beberapa dokter yang muslim atau muslimah, amanah dan ahli di bidangnya.
[12] Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/248), Abu Dawud no. 3180, dan yang lainnya.
[13] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 2761 dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Ausath no. 4596. Hadits ini shahih. Lihat penjelasan Syaikh al Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah di juz pertama halaman 284.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/12020-proses-penciptaan-manusia-dan-ditetapkannya-amalan-hamba-3.html